SALAH SATU isi khutbah Jum`at sebuah masjid di
salah satu sudut kota Sana`a, Yaman pada Jum`at (29/06/2012) kemarin adalah
tentang roda (kehidupan) dunia yang tidak pernah berhenti berputar hingga hari
kiamat. Sang khatib antara lain mencontohkan nasib seseorang yang mungkin saat
ini tertindas oleh penguasa lalim, tapi di kemudian hari siapa tahu ia yang
menjadi penguasa dan sebaliknya penguasa lalim itu mengalami nasib
sebaliknya.
Contoh nyata yang dijelaskan sang khatib
adalah kemenangan Presiden baru Mesir, Dr. Mohammed Mursy yang pada masa rezim
mantan Presiden Husni Mubarak bertahun-tahun pernah menginap di penjara. "Subhanallah (Maha Suci
Allah) yang maha kuasa membalikkan nasib manusia, yang dulu sering di penjara,
sekarang masuk ke istana dan yang dulu berkuasa semena-mena akhirnya masuk
penjara," paparnya dengan suara terbata-bata dibarengi tangis haru.
Sang khatib yang berasal dari Negeri
Lembah Nil itu, pada akhir khutbahnya selain mendoakan kepada seluruh kaum
Muslimin, juga tidak lupa pula mendoakan sang presiden sipil pertama yang
dipilih langsung rakyat Mesir itu agar mendapat petunjuk Allah sehingga dapat
membawa perubahan lebih baik bagi rakyat negeri terbesar di Arab (dilihat dari
jumlah penduduk) itu dan negeri itu pun kembali memainkan peran sebagai saudara
tertua Arab dibawah kepemimpinan Mursy.
Memang setelah pengumuman resmi
kemenangan Mursy pada Ahad (24/06/2012) lalu kemudian pelantikannya pada Sabtu
(30/06/2012), bukan hanya rakyat negeri Piramida itu saja, akan tetapi hampir
seluruh publik Arab, banyak berharap akan dapat melihat perubahan nyata pasca
"musim semi Arab" (Arab spring) yang dimotori oleh Mesir. Karena itu,
tidak berlebihan bila hampir seluruh mata publik Arab menunggu dengan cemas
pengumuman resmi kemenangan Mursy saat itu dengan rasa was-was khawatir hasil
Pilpres itu direkayasa.
Pasalnya, rekayasa berarti
"menggugurkan" musim semi Arab sebab Mesir adalah tolok ukur utama
keberhasilan dan kelanjutan musim semi Arab mencapai target yang dicanangkan
yang intinya perubahan lebih baik dan mengembalikan harga diri bangsa Arab.
Dengan kemenangan Mursy tersebut, tidak berlebihan bila dianggap sebagai
"terselamatkannya" musim semi di seluruh Arab.
Karena itu, wajar bila sambutan kemenangan
Capres dari Partai Kebebasan dan Keadilan bukan hanya berlangsung di Mesir,
akan tetapi di negara-negara Arab lainnya termasuk di Yaman yang pada akhir
tahun lalu berhasil menyampai kompromi alih kekuasaan dengan damai. Saat
penulis melihat salah satu unjukrasa damai menyebut-nyebut nama Mursy, Ahad
(24/6) di salah satu sudut kota Sana`a, pada saat itu pula penulis teringat
bila hari itu adalah hari pengumuman resmi presiden terpilih Mesir.
Sikap antusias banyak publik Arab di
luar Mesir menunggu pengumuman tersebut sangat beralasan. Dari serangkaian
perubahan yang terjadi dan masih berlangsung di dunia Arab saat ini, perubahan
di Mesir dinilai sebagai salah satu tolok ukur utama arah kebijakan dunia Arab
ke depan termasuk yang terkait dengan peninjauan kembali persekutuan strategis
di kawasan Timur Tengah (Timteng). Betapa tidak, negeri Lembah Nil tersebut
selain sebagai kekuatan militer terbesar di dunia Arab juga memiliki sumber
daya manusia (SDM) terbesar dengan penduduk sekitar 85 juta jiwa lebih atau
hampir sepertiga penduduk dari sekitar 300 juta penduduk Arab yang terdiri dari
22 negara.
Sejak tumbangnya rejim Husni Mubarak
pada 11 Februari lalu, telah menandai era perubahan termasuk yang berkaitan
dengan hubungan luar negeri setelah selama tiga dekade kekuasaannya peran
negeri itu terpasung oleh tekanan AS dan Israel sebagai konsekwensi dari
persetujuan Camp David tahun 1979. Di pertengahan hingga akhir-akhir masa
kekuasaan rejim Mubarak, Mesir semakin tidak diperhitungkan karena ibaratnya
berada di ketiak dua negara tersebut.
Sekarang setelah hampir setahun empat
bulan sejak orde perubahan, bagi siapa saja yang mengamati orientasi negeri
Piramida tersebut akan menemukan pada pandangan pertama bahwa orientasi itu
difokuskan pada kepentingan keamanan dan strategi yang dapat mengembalikan lagi
perannya di tingkat regional dan internasional yang sempat dikerdilkan pada
masa rejim Mubarak. Atau dengan kata lain Mesir sebagai salah satu negara
penentu di kawasan, tidak lagi sebagai peran pengekor namun sebagai penentu.
Seperti yang dilaporkan oleh sebagian
besar media Arab, hingga saat ini, publik Arab benar-benar menunggu kebijakan
dan terobosan baru dari presiden baru Mesir yang seorang insinyur dari keluarga
sederhana tamatan AS, yang dibesarkan di lingkungan organisasi al-Ikhwanul
al-Muslimun itu.Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan publik tentang
kebijakan-kebijakan baru Mesir di masa kepemimpinan Mursy mendatang,tulis
sejumlah analis Arab, Sabtu (30/6).
Gandeng
Dengan situasi negara yang sangat terpuruk terutama masalah ekonomi dan keamanan, tugas presiden baru sangat sulit terlebih lagi menyusul kekuasaan militer yang kembali mencuat hanya dua hari sebelum Pilpres putaran kedua berlangsung setelah Mahkamah Konstitusi Mesir membubarkan Parlemen. Hingga pemilu legislatif kembali dilaksanakan, kekuasaan legislatef akhirnya berada kembali di tangan Dewan Tinggi Militer.
Dengan situasi negara yang sangat terpuruk terutama masalah ekonomi dan keamanan, tugas presiden baru sangat sulit terlebih lagi menyusul kekuasaan militer yang kembali mencuat hanya dua hari sebelum Pilpres putaran kedua berlangsung setelah Mahkamah Konstitusi Mesir membubarkan Parlemen. Hingga pemilu legislatif kembali dilaksanakan, kekuasaan legislatef akhirnya berada kembali di tangan Dewan Tinggi Militer.
Belum terungkap hingga saat ini, apa
yang terjadi di belakang layar sekitar tiga hari penundaan pengumuman pemenang
Pilpres demokratis pertama di negeri Sungai Nil itu. Apakah ada tekanan dari
dalam dan luar negeri terhadap militer, ataukah bagi militer cukuplah
pembubaran parlemen dan pengumuman perampungan konsitusi sebagai antisipasi
kemenangan Capres yang tidak dijagokanya.
Capres yang diusung militer dan
sisa-sisa loyalis Mubarak, Jenderal Ahmed Shafiq akhirnya tidak bisa tidak
harus dinyatakan kalah tipis dalam Pilpres tersebut atau mendapat suara
sekitar 48,3 persen dan Dr. Mursy sekitar 51,7 persen. Terlepas dari
``kasak-kusuk`` di belakang layar sebelum pengumuman kemenangan Mursy itu, yang
jelas dengan langkah antisipasi yang dilakukan militer itu, menyebabkan kekuasaan
presiden baru dikerdilkan.
Sejumlah analis Arab mengibaratkan
presiden baru Mesir seperti susu yang sudah diperas lemaknya (skimmed milk) sehingga
tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan sangat penting dan
menentukan. Sebut saja misalnya keputusan untuk menyatakan perang hanya di
tangan militer, demikian pula dengan keputusan-keputusan sangat penting lainnya
masih di tangan militer.
Pada saat kekuasaan selaku Presiden
telah dikerdilkan, Mursy yang menamatkan S3 nya di Universitas Southern
California, AS pada 1982 itu dan sempat mengajar di negeri Paman Sam itu hingga
1985, juga menghadapi ``pekerjaan rumah`` ekstra sulit. Sebut saja misalnya,
ketika ia resmi dilantik sebagai orang nomor satu Mesir, kondisi rakyat
terbagi-bagi menjadi beberapa fraksi, perbendaharaan negara dalam keadaan
bankrut, angka pengangguran tinggi dan hanya sekitar seperempat saja penduduk
yang memilihnya.
Belum lagi di tingkat luar negeri,
Mursy yang berlatarbelakang al-Ikhwanul al-Muslimun masih harus menghadapi
sikap Barat yang bermusuhan secara terang-terangan. ``Ibaratnya ia seperti
berada di ladang ranjau yang siap mengeluarkan ledakan hebat sehingga perlu
kewaspadaan tinggi agar mampu mengatasi kesulitan dimaksud dengan kerugian yang
minimal papar sejumlah analis Arab.
Negara yang baru keluar dari kekuasaan
otoriter, tentunya wajar bila misi yang akan diemban presiden baru sangat berat
namun tidak ada yang mustahil. Menyatukan rakyat dibawah pimpinan al-Ikhwan
misalnya, bukan perkara mudah, setelah sekitar enam dekade baik saat Mesir
masih dalam bentuk kerajaan maupun setelah menjadi republik, kampanye
penyudutan al-Ikhwan oleh penguasa sangat membekas di benak rakyat negeri Nil
itu hingga saat ini.
Terkait dengan masalah yang satu ini,
Mursy tampaknya sejak dini telah menyadarinya sehingga ketika resmi diumumkan
sebagai pemenang Pilpres, maka ia secara langsung melepaskan semua atribut yang
berkaitan dengan al-Ikhwan dan Partai Kebebasan dan Keadilan. Ia resmi
mengundurkan diri dari kepengurusan al-Ikhwan dan partai guna memudahkan
dirinya memegang misi sebagai presiden bagi seluruh bangsa Mesir tanpa
terkecuali.
Selain itu, guna mendapatkan dukungan
luas dari tokoh-tokoh nasional lainnya dari semua elemen, Mursy juga nampaknya
akan memperbaiki ``kesalahan`` sebelumnya terkait dengan kesan dari kubu
revolusi yang lain yang mencurigai al-Ikhwan ingin memonopoli kekuasaan. Yang
kita maksud dengan ``kesalahan`` al-Ikhwan memang terkait dengan upaya untuk
memonopoli kekuasaan mulai dari Parlemen, Majelis Shoura, Komisi Pembentukan
Konstitusi hingga Presiden.
Monopoli kekuasaan di negeri yang
menganut sistem demokrasi sejatinya sah-sah saja, seandainya situasi negara
sudah settled
(mantap). Namun mengingat pentingnya kebersamaan dengan kubu revolusi lainnya
yang telah bahu membahu memotori perubahan,kesalahan dimaksud memang perlu
dikoreksi sesegera mungkin oleh presiden terpilih.
Sebagai bukti dari iktikad baik, Mursy
hampir dipastikan akan menggandeng semua pihak terutama dari kubu revolusi
tanpa melihat agama dan golongan termasuk dari tokoh-tokoh Kristen Koptik yang
selama ini masih mencurigai al-Ikhwan. "Bisa dipastikan bahwa Dr.
Mursy akan menggandeng semua pihak dalam upaya membangun kembali Mesir yang
lebih baik dalam masa kepemimpinannya," tandas Ibrahim Najih, seorang
tokoh Islam Mesir, saat pengumuman kemenangan Mursy.
Meskipun misi yang akan diemban
seperti diutarakan sebelumnya sangat berat, namun kemenangan Mursy pantas
disambut hangat oleh rakyat Mesir dan bangsa Arab pada umumnya. Karena dialah
Presiden sipil pertama yang dipilih secara jurdil dan transparan dan sekaligus
sebagai semacam "skoci penyelamat" bagi perampungan "Arab
spring" sampai saat ini masih bergulir di Arab.
Berkabung
Pada saat publik Arab umumnya
menyambut hangat hasil Pilpres di Negeri Al-Azhar itu, pihak yang paling
berkabung atas kemenangan Mursy adalah para pemimpin Israel. Mereka tetap
was-was akan nasib persetujuan Camp David 1979 yang ditandatanganinya dengan
Mesir, meskipun presiden terpilih dalam sambutannya antara lain menyatakan akan
komitmen dengan persetujuan dan konvensi internasional.
Bagaimana tidak was-was, sebab negeri
zionis itu telah mendapatkan jaminan stabilitas dan keamanan lewat persetujuan
Camp David dari negara Arab terbesar dan terkuat secara militer lebih dari
separo umur negeri Zionis itu (umur Israel 64 tahun sejak didirikan pada Mei
1948). Saat menyatakan komitmen terhadap perjanjian internasional, persetujuan
Camp David tidak secara khusus disebut Mursy.
Hampir dapat dipastikan bentuk
komitmen terhadap persetujuan yang satu ini adalah dengan tetap
mempertahankannya akan tetapi setelah dilakukan perubahan yang tidak merugikan
kepentingan nasional dan kepentingan Mesir bersama negara Arab lainnya. Sumber
was-was lainnya adalah kemungkinan pergantian pucuk pimpinan intelijen Mesir
yang kemungkinan besar akan diganti oleh tokoh Islamis.
Dengan pembubaran parlemen, Israel
masih menaruh harapan kepada Dewan Militer selaku penguasa sesungguhnya hingga
pemilu legislatif dilaksanakan kembali, terkait kelanjutan koordinasi keamanan.
Tapi koordinasi itu, tidak ada artinya bila presiden menunjuk pucuk pimpinan
intelijen dari tokoh Islamis.
Memang pemulihan kondisi ekonomi
merupakan prioritas utama presiden terpilih dibandingkan dengan masalah
persetujuan Camp David, terutama untuk pengadaan lapangan kerja bagi sekitar 10
juta warga Mesir yang masih menganggur. Meksipun demikian, kebijakan Mesir
terhadap negeri zionis itu dibawah pemerintahan Mursy hampir dapat dipastikan
akan berubah sehingga rasa khawatir para pemimpin Israel memang tepat adanya.
Sebagai contoh, sejak beberapa hari
setelah terpilih secara resmi, Presiden Mursy misalnya menolak menerima telpon
dari PM Israel, Benjamin Netanyahu yang sedianya akan menyampaikan ucapan
selamat. Netanyahu yang selama ini dikenal arogan, akhirnya terpaksa
menyampaikan ucapan selamat secara tertulis setelah gagal meminta AS sebagai
penengah agar Presiden Mursy sudi menerima telpon.
Terkait hubungan Mesir-Israel pasca
terpilihanya Presiden Mursy, intinya adalah masa ``bulan madu`` yang telah
berlangsung tiga dekade lebih sudah berakhir bahkan mungkin selamanya. Mesir
telah kembali kepada aspirasi rakyatnya dan aspirasi bangsa Arab secara
keseluruhan sehingga meskipun nantinya akan menghadapi banyak tantangan
eksternal terkait hubungannya dengan Israel, hal itu ibaratnya seperti jalan
berlubang yang diprediksi banyak analis akan dapat diatasi dengan baik.
Mesir akhirnya bukanlah negara militer
atau negara agama, akan tetapi negara madani (sipil) dengan citra rasa Islam.
Kenyataan ini yang ditakuti Israel yang dipastikan tidak akan larut dalam
suasana berkabung, akan tetapi akan memainkan semua ``kartu`` untuk
mengembalikan hubungan lamanya dengan negeri terbesar Arab itu. Tentunya,
inilah salah satu tantangan terbesar Mursy terkait hubungan luar negeri Mesir
pada masa jabatannya empat tahun ke depan,12 Sya`ban 1433 H
0 komentar:
Post a Comment